Bagaimanapun bangsa ini harus mengakui bahwa nilai-nilai kesopanan dan kesantunan di dalam dirinya, berangsur-angsur pudar. Keidentikan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang ramah perlahan terkikis bersamaan tergerusnya nilai-nilai moral lain. Bangsa ini menjadi sulit untuk memanifestasikan dirinya yang baik, dalam perjalaan untuk menjadi bangsa yang maju dan “beradab”. Aroma kemajuan membawanya ke dalam ruang-ruang asing yang keras dan kejam. Akan sulit sekali saat ini menemukan “manusia-manusia Indonesia” yang menjunjung nilai-nilai kesopanan dan kesantunan. Dan semakin sulit saja menemukan orang-orang Indonesia yang mau menegakkan dirinya bersama nilai-nilai kejujuran dan kebaikan. Bangsa ini telah menjadi bangsa yang lebih suka mengabaikan etika dan nilai-nilai moral yang ada. Tak peduli lagi itu baik atau buruk, kecuali bila itu berhubungan dengan “kebaikannya”. Bangsa ini lebih memilih menjadi bangsa yang memenuhi sisi-sisi di dalam pikirannya dengan nilai-nilai pragmatisme daripada “kolektivisme” yang tak membawa keuntungan. “ Engkau ada karena kau berguna, aku ada karena melihat ada yang berguna.” Nilai-nilai pragmatisme ini memupuskan kuncup-kuncup moral yang sebelumnya menjadi bagian keseharian hidup manusia Indonesia. Bangsa ini tak lagi mau dan tak mampu berkembang dengan kebaikan, dan itu telah menjadi bagian dari sekian pilihan yang dipilihnya. Menjadi manusia Indonesia berarti menjadi manusia yang brutal dan tak bermoral. Di sini pekerjaan, jabatan, golongan, kekayaan, kebijakan, dan kekuasaan, dengan bermacam relasi sosialnya tak akan lepas dengan negatifitas penjelmaannya. Bangsa ini tak malu lagi bila menyingkirkan nilai-nilai kejujuran dan kebaikan di dalam lubuk hatinya yang dalam sekalipun, dan diganti dengan segala kepicikan dan kepura-puraan. Bangsa ini menjadi bangsa yang tak lagi mau mengerti arti penting kesopanan dan keramahan, dan arti penting kebaikan dan kejujuran. Mereka, manusia-manusia Indonesia tak lagi peduli jika kemajuan yang telah mereka peroleh itu berlumur dengan darah dan kotoran. Keberadaban dan kebudayaan mereka lebih suka dinilai dari satu tolak ukur dengan standar minimal—Indonesia hanya berisi manusia-manusia “enggan”. Ironisnya, dengan standar minimal ini mereka menjadi bangga, dan dengan segera menafikkan ada standar yang lebih baik untuk bisa dicapai. Dan hal dengan melihat bahwa standar budaya bangsa itu baik bila perilaku mereka mencerminkan kebaikan dan nilai-nilai kejujuran universal yang diakui bersama. Sedangkan, titik tolak untuk melihat bangsa itu beradab adalah dengan melihat kesopanan dan kesantunan yang dimilikinya. Bangsa yang beradab adalah bangsa yang memiliki unggah-ungguh dalam berperilaku. Arti penting jika sebuah bangsa menjadi bangsa yang berbudaya dengan menjunjung kebaikan dan kejujuran, atau menjadi bangsa beradab dengan mengamalkan kesopanan dan kesantunan adalah sebagai bentuk pengaktualisasian diri. Aktualisasi diri sebagai diri sendiri, dengan jatidiri “kemanusiaannya”. Dengan kata lain, bangsa yang berbudaya dan beradab adalah bangsa yang di dalamnya terdapat manusia-manusia yang terdiri dari jiwa-raga manusia seutuhnya. Dengan begitu, pengaktualaisasian ini mencoba mencari pengakuan kehadiran bangsa ini di tengah-tengah hingar bingar bangsa lain. Pengakuan itu hadir karena memang ada yang membuat hal itu menjadi “diakui”. Pengakuan itu muncul bukan karena sekedar sosok yang dihadapi, tapi juga karena “keakuan” yang ada dalam sosok itu. Tentu tidak mudah menjadi bangsa berbudaya dan beradab. Namun dengan demikian, tidak menutup adanya kemungkinan bahwa model bangsa seperti ini ada. Semua ada karena berproses. Begitu pula Indonesia. Indonesia bisa menjadi sebuah bangsa yang berbudaya dan beradab. Namun, terlebih dahulu harus ada upaya untuk menyingkirkan rintangan-rintangannya. Rintangan-rintangan itu dapat disingkirkan setidaknya dengan beberapa cara. Pertama, darisejak kecil manusia-manusia Indonesia harus diperkenalkan dengan pendidikan moral—moralitas sebagai landasan kebudayaan dan keberadaban. Pendidikan moral ini dapat ditanamkan di rumah, sekolah, dan lingkungannya. Di rumah misalnya dengan mengajarkan nilai-nilai moral yang diajarkan agama—dengan asumsi bahwa semua agama mengajarkan kebaikan moral. Peran serta ibu dan bapak di sini begitu penting. Selain keluarga, karakteristik anak dibentuk melalui lingkungan, melalui teman sepermainan misalnya. Lingkungan berpengaruh sekali terhadap perilaku dan tingkah laku anak-anak di masa depan. Kemudian, di sekolah mulailah anak-anak diajari prinsip-prinsip moral dengan metode agak formalistik. Di ranah ini arahan-arahan dan anjuran-anjuran terlebih dahulu diseting. Dengan begitu, pemerintah sebagai pembuat kebijakan-kebijakan pendidikan juga bertanggung jawab terhadap moralitas bangsa. Kedua, pendidikan moral saja tak akan cukup untuk membentuk manusia Indonesia yang beradab dan berbudaya. Bangsa ini membutuhkan figur-figur panutan. Benak manusia-manusia Indonesia terlampau penuh dengan gambaran-gambaran kecurangan yang telah dicipta, para publik figur. Sedikit sekali yang bisa menjadi figur yang baik di negeri ini, itupun hanya sebagian yang bisa bergerak dan eksis, lainnya perlahan tenggelam karena tekanan dari luar. Figur-figur yang baik tentu akan menuntun manusia Indonesia pada kebaikan. Karena figur yang baik ini berawal dari masing-masing individu—individu akan menjadi panutan yang baik jika memang ia terlebih dahulu menjadi baik. Jadi, mulailah semuanya dari diri sendiri. Karena nilai-nilai moral akan berawal dan berkembang dari sini. Indonesia membutuhkan perubahan dan perubahan itu dapat hanya bisa muncul jika setiap individu menanamkan di dalam sanubarinya keinginan perubahan itu.
MANUSIA SEUTUHNYA
Manusia adalah makhluk hidup yang paling sempurna yang pernah diciptakan TUHAN Yang Maha Esa. Manusia diberikan kecerdasan dan akal yang berguna untuk menjalani hidup dan peradaban dengan segala sesuatunya agar mencapai apa yang manusia tersebut inginkan.
Disini saya coba memaparkan tentang bagaimana seharusnya manusia menjadi Manusia Seutuhnya.
Aspek-aspek yang harus dipenuhi agar dapat menjadi Manusia Seutuhnya :
AKAL
Kita semua tahu bahwa manusia diberikan akal untuk berpikir untuk bersikap, memahami, mencari solusi dari permasalahan yang ditemuinya agar dapat hidup dengan baik dan damai. Dengan akal pula manusia dibedakan dengan makhluk hidup lainnya.
Penting bahwa manusia harus menggunakan akal yang telah diberikan secara maksimal agar kelak dapat menjadi manusia seutuhnya.
KECERDASAN
Kecerdasan adalah hal yang umum dan meluas.
Kita tahu bahwa banyak macam-macam dari kecerdasan. Kecerdasan adalah turunan dari AKAL. Kecerdasan ini digunakan manusia untuk menciptakan atau memodofikasi hal apapun yang dapat membantu Manusia menjalani hidupnya.
JASMANI Dan ROHANI
Jasmani yang berarti FISIK, dan ROHANI yang berupa HUBUNGAN antara MANUSIA dan PENCIPTANYA.
Jasmani dan Rohani saling berkaitan satu sama lain. Manusia Seutuhnya membutuhkan dua aspek ini karena erat kaitannya untuk kehidupan didunia maupun kelak di Akhirat nanti.
Dari aspek-aspek diatas saya simpulkan, sesungguhnya hal mendasar yang sangat penting agar kita sebagai manusia dapat menjadi Manusia Seutuhnya adalah aspek terkahir, yaitu Jasmani Dan Rohani. Jika kita dapat menjalankan dan menerapkan aspek tersebut, kelak kita sebagai manusia dapat memaksimalkan aspek yang lainnya yang menunjang kita agar dapat menjadi Manusia Seutuhnya.
sumber : disini
Blog dan artikelnya bagus, komentar juga di blog saya www.when-who-what.com
BalasHapus